Banyak pria muda antara usia 21 dan 30 tahun di AS telah memilih keluar dari pekerjaannya dan menghabiskan waktu lebih banyak bermain video game. Anehnya, mereka menjadi lebih bahagia daripada laki-laki seusia mereka yang bekerja.
Lawrence Summers, mantan kepala ekonom Bank Dunia dan sekretaris Departemen Keuangan AS, baru- baru ini menulis bahwa ia mengharapkan virtual reality untuk menarik lebih banyak orang muda untuk memilih keluar dari pasar kerja, jika kecenderungan ini terus berlanjut.
Erik Hurst, seorang makro ekonom di University of Chicago Booth School of Business, dan Alan Krueger, seorang profesor ekonomi dan urusan publik di Princeton University, mengutip penelitian bahwa video game sekarang telah begitu banyak menarik para lelaki muda dari pekerjaan mereka. Orang-orang seperti ini kebanyakan tidak keberatan mengenai stigma masih serumah dengan orangtua mereka di usia matang atau sudah tidak memikirkan masalah kesejahteraan sosial.
Ini merupakan fenomena perubahan terbaru dan harus kita cermati secara mendalam. Pada tahun 2000, pemuda berterampilan rendah yang diberhentikan dari pekerjaannya umumnya menunjukkan ketidakpuasan. Hal itu tidak lagi terjadi di masa sekarang dimana pemuda yang diberhentikan dari pekerjaannya cenderung untuk “meraih” game controller.
Makalah Krueger berjudul “Ke Manakah Menghilangnya Semua Pekerja?” mencatat bahwa pria pengangguran yang lebih tua menunjukkan “tingkat emosional yang lebih rendah dimana hal itu berasal dari relatif sedikitnya makna kegiatan mereka sehari-hari”.
Untuk laki-laki lebih muda yang memiliki keterampilan lebih rendah, memang dapat lebih sulit untuk mencari pekerjaan, namun para peneliti mulai percaya bahwa hal ini bukan satu-satunya faktor yang membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan daya pikat video game yang lebih mendalam juga akan tampak sebagai penjelasan yang terlalu sederhana, seiring dengan beberapa hal rumit seperti perilaku manusia dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Sinis dan skeptis
Fakta bahwa orang-orang muda saat ini juga memiliki sinisme mendalam serta ketaatan dan ketidakpercayaan pada masyarakat umumnya mungkin akan membuat lebih banyak orang yang berpaling dari video game.
Sinisme ini di kalangan anak muda didokumentasikan di Harvard dan jajak pendapat Gallup pada tahun lalu, dan para peneliti di University of Georgia dan San Diego State University menemukan bahwa antara tahun 1972 dan 2012, Amerika secara signifikan berada dalam kondisi kurang percaya satu sama lain dan kurang percaya diri dalam lembaga-lembaga besar, termasuk media berita, bisnis, organisasi keagamaan, lembaga kesehatan, kongres, dan presiden.
Studi ditemukan bahwa generasi milenium adalah generasi paling sinis yang pernah dipelajari.
Sangat mudah untuk melukis sebuah skenario di mana orang-orang muda yang ditolak oleh masyarakat yang dicap sebagai “orang gagal” dan tertarik dengan video game yang semakin memikat. Realitas yang menyedihkan, meskipun bahwa video game tidak secara terang-terangan memikat orang-orang muda agar tertarik kepada mereka.
Perhatikan, misalnya, proliferasi pornografi , yang lazim secara online dan semakin banyak muncul di video game.
American College of Pediatricians memperingatkan bahwa pornografi online dapat menurunkan perasaan hormat laki-laki terhadap perempuan, membuat pria berpikir mudahnya melakukan pemerkosaan dan perselingkuhan, dan menjauhkan mereka dari pernikahan dan memiliki anak.
Godaan indulgensi online bersifat primal dan menarik bagi keinginan manusia yang paling primitif, yaitu kekuasaan dan kekejaman yang dapat dialami seseorang saat membunuh dalam lanskap virtual video game.
Bahkan games yang tidak menampilkan perilaku tersebut juga dapat didasarkan pada scenario lain yang mengerikan. Dan terkadang itu adalah apa yang membuat mereka merasa senang.
Bagian dari daya tarik video game dan indulgensi online adalah bahwa mereka menawarkan dunia yang mendefinisikan dimana orang dapat mencoba, gagal, meningkatkan diri mereka, dan berhasil. Perjalanan yang jelas, menarik, dan dapat dicapai, sebagai lawan dari dunia nyata yang terlihat semakin sulit untuk dijalani.
Dalam artian emosional, video game menjadi pengganti untuk prestasi di dunia nyata. Dan karena banyak permainan memiliki komponen sosial, mereka juga memenuhi kebutuhan untuk beberapa jenis komunitas. (Epochtimes/Matthew Little/Osc)